Pagi-pagi sudag mengunjungi Pojok Kelas *Hafla_TK A
MAS GURU KARDI
Oleh : MF. Oktavia*) Pagi terlihat remang oleh saputan kabut. Jalanan di kampung Mranggen masih senyap dari aktifitas warga. Hanya sesekali, terlihat satu, dua warga kampung berjalan dengan sekeronjot sayuran untuk dibawanya ke pasar. Tak berapa lama, sayup terdengar deru mesin motor dari ujung jalan. Kian lama terdengar semakin keras, bahkan memekakkan telinga orang yang dilaluinya, termasuk segerombol bapak-bapak yang tengah ngopi di warung Yu Kanti. Meski begitu, tidak ada respon yang negatif dari mereka, bahkan yang terlihat malah sapaan yang menyenangkan. “Hati-Hati mas guru, sugeng ngayahi tugas,” sapa khas salah seorang dari gerombolan warga yang sepertinya sudah sangat akrab dengan pengendara motor itu. “Dari jauh sudah bisa diterka, kalau mas guru Kardi yang bakal lewat,” sahut yang laen. Lelaki pengendara motor yang disebut mereka dengan sebutan mas guru Kardi itu pun berhenti sejenak, menimpali sapaan mereka dengan tak kalah akrabnya,” lha ya jelas to, kalau tidak ada mas guru Kardi, ya tidak rame.” “Permisi, monggo sedoyo,” pamit mas Guru Kardi kemudian. Bapak-bapak itu pun mengangguk mempersilahkan mas Guru Kardi berlalu dari hadapan mereka, menyisakan kepulan asap yang keluar dari knalpot motor butut mas guru Kardi. “Kasihan nasib guru muda itu. Kurang baik apa dia itu, koq yo masih disia-siakan dan selalu dianggap kurang oleh keluarga istrinya,” ucap seorang bapak membuka pembicaraan tentang mas guru Kardi. “Lha iya ya, sudah dibela-belain kerja dari pagi sampai sore, masih sering saja mertuanya itu mengumpat-umpat, di depan banyak warga lagi ,” timpal yang lain terlihat menahan geram. *** Tujuh tahun menjadi guru honorer di SD negeri Mranggen telah memahat niat kuat di hati mas guru Kardi untuk mengabdi, mendidik anak-anak sepenuh hati. Tidak hanya anak-anak yang menjadi siswanya, tetapi siapa pun yang ingin belajar, selalu mendapat layanan pengajaran darinya dengan tulus ikhlas. Membisniskan peran guru di kampung kecil seperti Mranggen sangatlah sulit, dan bisa jadi untung tidak didapatkan, keikhlasan malah tergadaikan. Di sela-sela kegiatannya mas guru Kardi juga membina sebuah komunitas muda-mudi yang kegiatan utamanya menulis. Penuh perjuangan dan tantangan yang luar biasa untuk mengajak muda-mudi kampung yang tak berpendidikan tinggi seperti itu. Apalagi, alur hidup mereka sudah teracuni oleh pikiran orang tua mereka untuk bagaimana bisa bekerja agar menghasilkan banyak uang, dan bukan untuk belajar. Sedangkan membuat karya tulis itu bukan dianggap pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi kondisi itu tak menyurutkan kegigihan mas guru Kardi untuk terus memberi semangat dan membina mereka berdasarkan pengalamannya. Kebetulan Kardi sejak usia muda memang senang menulis, bahkan tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di media massa. Kardi Putra Rahardian, nama pena Mas Guru Kardi sudah tak asing lagi di kalangan para penulis lokal Jogja. Tapi ironisnya, tak menjadikan berharga di mata keluarganya. “Jadi orang itu jangan sok suci, sok ikhlas, terima mengajar dan mengurusi orang sana sini tanpa ada gaji. Kelihatannya saja sibuk kerja dari pagi sampai malam, tapi kenyataannya kebutuhan anak istri tidak tercukupi,” keluh Ratinah, istri Kardi. “Sabar dan yakinlah Bu, Tuhan tidak tidur. Siapapun yang ikhlas membantu kesulitan orang lain, kesulitan kita akan terbantukan atas kuasa Tuhan,” ungkap Kardi “Huh! Makan itu sabar. Lapar tidak bisa menjadi kenyang karena sabar saja, Mas” ucap Ratinah sembari berkacak pinggang di hadapan Kardi. Kalau sudah begitu, mas guru Kardi hanya bisa terdiam bungkam, agar tak terjadi pertengkaran yang semakin meruncing. Karena disadarinya gaji sebagai tenaga honorer memang sementara belum bisa membuktikan terjaminnya kesejahteraan keluarganya. Keikhlasan tidak bisa menjadi prasyarat turunnya tunjangan atau kenaikan pangkat bagi seorang guru. Karena itulah, istri dan mertuanya sangat tidak setuju dengan pekerjaan dan aktifitas Kardi selama ini. “Sampai kapan gaji suamimu bisa membuat kamu kaya. Sepertinya jabatan jadi guru itu hebat, tapi gaji selalu mepet. Lha mbok dia disuruh daftar TKI saja, satu tahun kerja di Hongkong bisa bangun rumah magrong-magrong kayak si Joko itu” ucap mertua Kardi pada Ratinah. Ratinah menyuguhkan secangkir wedang kopi pada ibunya sembari menjawab,“Mauku juga seperti itu, Mbok. Beberapa hari yang lalu juga sudah aku tawarkan itu, tapi mas Kardi memang keras kepala, tak mau bergeming dari pekerjaannya sekarang. Malah aku dibuat gelagapan dengan nasehat-nasehatnya.” Senyap sejenak membalut keduanya dalam pikiranya masing-masing. Hingga tergeragap keduanya saat Kardi mengucap salam. “O ada ibu to. Sudah lama, bu?” sapa mas guru Kardi pada mertuanya dengan penuh hormat yang tak dibuat-buat. Mbok Sri tak segera menjawab, malah lebih memilih menyeruput wedang kopinya. “Yo wis, aku pamit pulang dulu,” pamit mbok Sri kemudian. Ratinah dan Kardi menghantarkannya sampai depan rumah. “Sampai kapan hidup seperti ini,” gumam Ratinah. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Ratinah kemudian masuk ke dalam kamar. Sementara Kardi sudah di depan komputer kunonya, siap menuangkan isi pikirannya dalam tulisan. *** Sore itu, ada seulas senyum dari bibir Ratinah yang sudah lama tak pernah dilihat Kardi semenjak awal pernikahannya dulu. “Mas, aku mau belikan kalung yo. Nanti sewaktu-waktu kalau butuh uang, bisa dijual lagi,” rajuk Ratinah sembari mengitung-hitung lembaran uang seratus ribuan, hadiah lomba penulisan. Istilahnya uang pembinaan. “Terserahlah, kamu atur saja. aku hanya meminta agar kita tetap menjaga kesabaran dan keyakinan pada Allah terhadap segala urusan, termasuk dalam masalah rezeki,” ucap bijak mas Guru Kardi. Ratinah menganggguk-angguk sembari tak berkesudahan menimang-nimang lembaran uang di tangannya. Seminggu berlalu dengan sikap manis Ratinah. Dan yang lebih membahagiakan lagi, di tiap pembicaraanya jauh dari umpatan dan keluhannya. “Mas, berhentilah menimang piala itu. Toh kemenangan itu tak bisa memberikan jaminan untuk memenuhi kebutuhan kita. Dika belum bayar SPP, paling lambat pembayaran besuk. Aku juga sudah tidak pegang uang sama sekali,” keluh Ratinah suatu pagi di hari berikutnya. Tak ada kata yang keluar dari bibir Kardi. Pandangannya tertuju pada piala dan piagam yang digantung di dinding, disamping piala. Tatapannya semakin redup dan kemudian terpejam. “ Andai saja piala itu sangup mendengar suara hatiku, mungkin saja dia mau menjual dirinya, demi memenuhi kebutuhan tuannya. Tapi aku tak akan pernah berprinsip seperti itu, kemuliaan ada pada diri yang tak mudah menjual diri dan menggadaikan keikhlasan hati demi materi yang yang tak selalu memberikan kebahagiaan yang abadi,” gumamnya di kedalaman batin yang kian terluka. *** *)MF.Oktavia, pegiat sastra anak dan Pengelola Lembaga Pendidikan Anak di Yogyakarta. Alamat : Jln Godean 330
CUKUP PANGGIL AKU, BU SITI
Oleh : Maya Veri Oktavia*) Kemarau telah meranggas hijaunya dedaunan. Tanah terlihat retak dan kerontang, tak terjamah oleh air. Dinginnya pagi terenggut oleh teriknya mentari. Membuat sepanjang jalan kampung Sawahan terasa kian panas. Meski cuaca tak begitu ramah, seorang wanita paruh baya tetap tegar berjalan menyusuri pematang sawah, jalan pintas yang terdekat menuju TK Bestari. “Bu Guru Siti datang,” teriak seorang bocah. Tanpa ada komando, bocah dan teman-temannya yang lain berlomba menghampiri seorang perempuan paruh baya yang mereka panggil Bu Guru Siti. “Assalamu’alaikum anak-anak.” Bu Guru Siti dengan peluh keringat yang masih tersisa di kening tetap menyapa ramah anak-anak dengan seulas senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya . Anak-anak berebut bersalaman dengan Bu Guru Siti. “Loh, salam Bu Guru koq belum dijawab?” celetuknya pada anak-anak. Dengan berbagai ekpresi yang mereka perlihatkan, teriakan salam kemudian terdengar juga. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Bu Guru siti membimbing anak-anak kembali menuju arena bermainnya. Meskipun masih ada yang bergelayut manja, Bu Guru Siti tetap bersabar melayaninya. “ Assalamu’alaikum, Bu Guru Siti. Maaf,bu guru dipanggil Bu Kepala,”sapa rekan guru . “Wa’alaikumsalam warahmatullah. Iya Bu Guru Karin, terima kasih. Minta tolong titip Aisyah dulu ya.” Bocah yang disebutnya Aisyah tampaknya enggan untuk berpindah di pangkuan Bu Guru Karin. Tapi dengan beberapa bujukan dari Bu Guru Siti, akhirnya mau juga. Bu Guru Siti memasuki kantor kepala dengan hati yang bertanya-tanya, karena tidak biasanya bu kepala memanggil di waktu pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Sesampai di dalam ruang kantor, ternyata di ruangan sudah ada bu Guru Dyah dan Bu Guru Khasanah. “Assalamu’alaikum,” ucap salam Bu Guru Siti yang disambut dengan salam yang hampir berbarengan. “Silahkan duduk, Bu,” ucap Bu Kepala mempersilahkan Bu Guru Siti. “Begini Bu Guru sekalian, berkenaan dengan pengajuan pemberkasan yang ternyata diiringi dengan beberapa kebijakan baru maka saya mengajak Bu Guru sekalian untuk membuat beberapa kesepakatan,” kata Bu kepala mengawali pembicaraan. Beberapa saat kemudian Bu Kepala menjelaskan panjang lebar dan akhirnya pada keputusan kalau ada pembagian kelas baru. Bu Guru Siti mendapatkan kelas baru dengan jumlah murid yang paling sedikit dengan pertimbangan karena Bu Guru Siti belum setifikasi sehingga tidak terkena aturan baru. “Terkadang menggelikan juga kebijakan baru di dunia pendidikan ini. Guru diharapkan mampu mengajarkan nilai-nilai luhur kepada anak, sementara kebijakan dan kodisi yang melingkupi guru itu sendiri tak mendukung. Seorang guru diakui kualitasnya hanya dari sisi kualifikasi pendidikannya, yang bisa mencatat rapi dokumen pembelajarannya, yang bisa hadir mengajar hanya sekedar memenuhi tuntutan kehadiran sebagai tugas profesi, karena ketidakhadiran guru di sekolah bisa menyebabkannya tak mendapatkan tunjangan profesi, yang rajin mengikuti workshop hanya untuk mengumpulkan sertifikat agar bisa menaikkan golongan. Lalu dikemanakan nilai ketulusikhlasan seorang guru itu kemudian bisa dihargai? Bagaimana mendidik anak itu menjadi tanggung jawab moral yang semestinya menjadi tuntutan jiwa seorang pendidik, bukan tuntutan profesi semata? Mengajar dengan hati jauh lebih membekas di jiwa anak-anak, ketimbang hanya mengajar sekedar tuntutan kurikulum dan profesi,” gumam batin Bu Guru Siti sembari menyusuri langkah menuju kelas. Semakin sempurna kekecewaan Bu Guru Siti atas profesi yang dia tekuni selama 19 tahun. Siang itu semua guru TK kembali dikumpulkan di ruang kantor, termasuk Bu Guru Siti. Kali ini bukan untuk rapat internal, akan tetapi ada pembinaan dari pengawas. “Sudah berapa lama sekolah ini berdiri, perangkat pembelajaran saja banyak yang belum lengkap. Bagaimana bisa menerim tunjangan profesi, kalau tidak profesional begini,” kata ibu pengawas dengan nada tinggi. Bu Guru Siti seringkali terdiam setiap kedatangan ibu pengawas. Di raut para guru, terutama Bu guru Siti memendam rasa kurang simpatik terhadap ibu pengawas yang satu ini. “Meskipun belum sertifikasi harus tetap memenuhi tugas profesinya. Mengajar itu juga harus punya pedoman, tidak asal mengajar saja,” lanjut Ibu Pengawas dengan wajah serius tanpa sedikit pun senyuman menghias wajah. Raut keramahan sama sekali tak terlihat. Suasana menjadi terasa semakin panas dan jengah. “Pengawas bagi para guru mestinya bisa mencontohkan cara membimbing dengan sikap dan ucapan yang baik. Apalagi yang dibimbing adalah guru-guru yang nota bene sudah dewasa, tentu saja tidak tepat untuk dimarahi, dan ditekan dengan kata-kata yang kurang santun begitu. Meskipun apa yang disampaikan itu memang benar tapi ketika penyampaiannya tidak tepat, bisa berdampak tidak baik,” rutuk Bu Guru Siti dalam hati. Tampaknya gerundelan yang sama juga mengusik hati rekan guru yang lain. Bu Guru Siti memang selalu mendapat teguran perihal pemenuhan administrasi kelasnya. Keterbatasan waktu dan tenaganya menjadi alasan ketidaklengkapan dalam mencatat kegiatan dan penilaian. Bu Guru Siti selain mengajar di TK Bestari, juga mengajar anak-anak jalanan, dan mengasuh 20 anak yatim dan dhuafa, disamping juga memiliki kewajiban mendidik ke enam anaknya di rumah. Di sisi lain ada alasan yang prinsip terkait dengan pola mendidik anak. Baginya, ketika berhadapan dengan anak-anak maka tenaga dan pikiran harus diberikan sepenuh hati agar anak-anak bisa sepuasnya menikmati kehadiran guru. Sepertinya memang bertolak belakang penilaian pengawas dengan penilaian anak-anak didik terhadap Ibu Guru Siti. Bagi anak-anak, Bu Guru Siti adalah Guru favorit. Kharisma Bu Guru Siti sangat lekat di hati anak-anak didiknya. Sehingga dari gaya bicara, nasehat, dan tak jarang tingkah laku Bu Guru Siti seringkali ditirukan anak-anak. Sementara menurut penilaian pengawas hanya mengukurnya dari pemenuhan tuntutan profesi sebagai guru. *** TK Bestari dalam beberapa hari terakhir ini tidak seperti biasa. Beberapa anak asuhan Bu Guru Siti terlihat tidak bersemangat lagi berangkat ke sekolah. Aisyah yang sering ngelendot manja di pangkuan Bu Guru Siti kini tak terlihat lagi di sekolah. Meskipun kepolosan anak tetap terlihat dalam tingkah polahnya, tapi suasana tetap terasa kurang ceria. “Bu Guru Siti kemana?” tanya polos Indra pada Bu Guru Karin. “Bu Guru Siti masih ada keperluan keluarga. Nanti Mas Indra dan teman-teman yang lain belajar dan bermain bersama Bu Guru Karin ya,” jawab Bu Guru Karin mencoba mendekati anak-anak agar tidak merasa kehilangan Bu Guru Siti. Sementara di kelas yang berbeda, Bu Guru Siti tengah sibuk membimbing anak-anak jalanan untuk belajar membaca. Suasana yang tersuguhkan penuh kehangatan. Beberapa celoteh dan gelak tawa anak-anak terdengar di tengah kesibukan mereka menulis. Bu Guru Siti dengan sabar menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut mungil bocah-bocah yang tak tersentuh bangku sekolah itu dengan penuh keakraban. “Bu Guru sudah tidak mengajar di TK ya?”