Call Us

+62-822-4461-7288

Office Mekar

Jl Suryodiningratan No.MJ II/726

CUKUP PANGGIL AKU, BU SITI

Oleh : Maya Veri Oktavia*)

Kemarau telah meranggas hijaunya dedaunan. Tanah terlihat retak dan kerontang, tak terjamah oleh air. Dinginnya pagi  terenggut oleh teriknya mentari.  Membuat  sepanjang jalan kampung Sawahan terasa kian panas. Meski cuaca tak begitu ramah, seorang wanita paruh  baya  tetap tegar berjalan menyusuri pematang sawah, jalan pintas yang terdekat menuju  TK Bestari.

“Bu Guru Siti datang,” teriak seorang bocah. Tanpa ada komando, bocah dan teman-temannya yang lain berlomba menghampiri seorang perempuan paruh baya yang mereka panggil Bu Guru Siti.

“Assalamu’alaikum anak-anak.” Bu Guru Siti dengan peluh keringat yang masih tersisa di kening tetap menyapa ramah anak-anak dengan seulas senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya .  Anak-anak berebut bersalaman dengan Bu Guru Siti.

Loh, salam Bu Guru koq belum dijawab?” celetuknya pada anak-anak.

Dengan berbagai ekpresi  yang mereka perlihatkan, teriakan salam kemudian terdengar juga. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Bu Guru siti membimbing anak-anak kembali menuju arena bermainnya.  Meskipun masih ada yang bergelayut manja, Bu Guru Siti tetap bersabar melayaninya.

“ Assalamu’alaikum, Bu Guru Siti. Maaf,bu guru dipanggil Bu Kepala,”sapa rekan guru .

“Wa’alaikumsalam warahmatullah. Iya Bu Guru Karin, terima kasih. Minta tolong titip Aisyah dulu ya.” Bocah yang disebutnya Aisyah tampaknya enggan untuk berpindah di pangkuan Bu Guru Karin. Tapi dengan beberapa bujukan dari Bu Guru Siti, akhirnya mau juga. Bu Guru Siti memasuki kantor kepala dengan hati yang bertanya-tanya, karena tidak biasanya bu kepala memanggil  di waktu pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Sesampai di dalam ruang kantor, ternyata di ruangan sudah ada bu Guru Dyah dan Bu Guru Khasanah.

“Assalamu’alaikum,” ucap salam Bu Guru Siti yang disambut dengan salam yang hampir berbarengan.

“Silahkan duduk, Bu,” ucap Bu Kepala mempersilahkan Bu Guru Siti.

“Begini Bu Guru sekalian, berkenaan dengan pengajuan pemberkasan yang ternyata diiringi dengan beberapa kebijakan baru maka saya mengajak Bu Guru sekalian untuk membuat beberapa kesepakatan,” kata Bu kepala mengawali pembicaraan. Beberapa saat kemudian Bu Kepala menjelaskan panjang lebar dan akhirnya pada keputusan kalau ada pembagian kelas baru. Bu Guru Siti mendapatkan kelas baru dengan jumlah murid yang paling sedikit dengan pertimbangan karena Bu Guru Siti belum setifikasi sehingga tidak terkena aturan baru.

“Terkadang menggelikan juga kebijakan baru di dunia pendidikan ini. Guru diharapkan mampu mengajarkan nilai-nilai luhur kepada anak, sementara kebijakan dan kodisi yang melingkupi  guru itu sendiri  tak mendukung. Seorang guru diakui kualitasnya hanya dari sisi kualifikasi pendidikannya, yang bisa mencatat rapi dokumen pembelajarannya, yang bisa hadir mengajar hanya sekedar memenuhi tuntutan kehadiran sebagai tugas profesi, karena ketidakhadiran guru di sekolah bisa menyebabkannya tak mendapatkan tunjangan profesi, yang rajin mengikuti workshop hanya untuk mengumpulkan sertifikat agar bisa menaikkan golongan.  Lalu dikemanakan nilai ketulusikhlasan seorang guru itu kemudian bisa dihargai? Bagaimana mendidik anak itu menjadi tanggung jawab moral yang semestinya menjadi tuntutan jiwa seorang pendidik, bukan tuntutan profesi semata?  Mengajar dengan hati  jauh lebih membekas di jiwa anak-anak, ketimbang hanya mengajar sekedar tuntutan kurikulum dan profesi,” gumam batin Bu Guru Siti sembari menyusuri langkah menuju kelas.

Semakin sempurna kekecewaan Bu Guru Siti atas profesi yang dia tekuni selama 19 tahun.  Siang itu semua guru TK kembali dikumpulkan di ruang kantor, termasuk Bu Guru Siti. Kali ini bukan untuk rapat internal, akan tetapi ada pembinaan dari pengawas.

“Sudah berapa lama sekolah ini berdiri, perangkat pembelajaran saja banyak yang belum lengkap. Bagaimana bisa menerim tunjangan profesi, kalau tidak profesional begini,” kata ibu pengawas dengan nada tinggi. Bu Guru Siti seringkali terdiam setiap kedatangan ibu pengawas. Di raut para guru, terutama Bu guru Siti memendam rasa kurang simpatik terhadap ibu pengawas yang satu ini.

“Meskipun belum sertifikasi harus tetap memenuhi tugas profesinya. Mengajar itu juga harus punya pedoman, tidak asal  mengajar saja,” lanjut Ibu Pengawas dengan wajah serius tanpa sedikit pun senyuman menghias wajah. Raut keramahan sama sekali tak terlihat. Suasana menjadi terasa semakin panas dan jengah.

“Pengawas bagi para guru mestinya bisa mencontohkan cara membimbing dengan sikap dan ucapan yang baik. Apalagi yang dibimbing adalah guru-guru yang nota bene sudah dewasa, tentu saja tidak tepat untuk dimarahi, dan ditekan dengan kata-kata yang kurang santun begitu. Meskipun apa yang disampaikan itu memang benar tapi ketika penyampaiannya tidak tepat, bisa berdampak tidak baik,” rutuk Bu Guru Siti dalam hati. Tampaknya gerundelan yang sama juga mengusik hati rekan guru yang lain.

Bu Guru Siti memang selalu mendapat teguran perihal pemenuhan administrasi kelasnya. Keterbatasan waktu dan tenaganya menjadi alasan ketidaklengkapan dalam mencatat kegiatan dan penilaian. Bu Guru Siti selain mengajar di TK Bestari, juga mengajar anak-anak jalanan, dan mengasuh 20 anak yatim dan dhuafa, disamping juga memiliki kewajiban mendidik ke enam anaknya di rumah. Di sisi lain ada alasan yang prinsip terkait dengan pola mendidik anak.  Baginya, ketika berhadapan dengan anak-anak maka tenaga dan pikiran harus diberikan sepenuh hati agar anak-anak bisa sepuasnya menikmati kehadiran guru.  

Sepertinya memang bertolak belakang penilaian pengawas dengan penilaian anak-anak didik terhadap Ibu Guru Siti. Bagi anak-anak, Bu Guru Siti adalah Guru favorit. Kharisma Bu Guru Siti sangat lekat di hati anak-anak didiknya. Sehingga dari gaya bicara, nasehat, dan tak jarang tingkah laku Bu Guru Siti seringkali ditirukan anak-anak. Sementara menurut penilaian pengawas hanya mengukurnya dari pemenuhan tuntutan profesi sebagai guru.

***

TK Bestari dalam beberapa hari terakhir ini tidak seperti biasa.  Beberapa anak asuhan Bu Guru Siti terlihat tidak bersemangat lagi berangkat ke sekolah. Aisyah yang sering ngelendot manja di pangkuan Bu Guru Siti kini tak terlihat lagi di sekolah. Meskipun kepolosan anak tetap terlihat dalam tingkah polahnya, tapi suasana tetap terasa kurang ceria.

“Bu Guru Siti kemana?” tanya polos Indra pada Bu Guru Karin.

“Bu Guru Siti masih ada keperluan keluarga. Nanti Mas Indra dan teman-teman yang lain belajar dan bermain bersama Bu Guru Karin ya,” jawab Bu Guru Karin mencoba mendekati anak-anak agar tidak merasa kehilangan Bu Guru Siti.

Sementara di kelas yang berbeda, Bu Guru Siti tengah sibuk membimbing anak-anak jalanan untuk belajar membaca. Suasana yang tersuguhkan penuh kehangatan. Beberapa celoteh dan gelak tawa anak-anak terdengar di tengah kesibukan mereka menulis. Bu Guru Siti dengan sabar menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut mungil bocah-bocah yang tak tersentuh bangku sekolah itu dengan penuh keakraban.

“Bu Guru sudah tidak mengajar di TK ya?” tanya seorang anak berusia kisaran 8 tahunan yang saban harinya mengamen di lampu merah.

Bu Guru Siti tak segera menjawab, hanya senyuman penuh makna diberikannya kepada bocah itu.

“ Jangan panggil dengan sebutan Bu Guru lagi, mulai sekarang cukup panggil Ibu dengan Bu Siti,”ucap Bu Guru Siti kemudian.  “Tentu kalian akan bertanya-tanya kenapa. Iya kan?”

anak-anak spontan mengangguk berbarengan.

“Karena Bu Siti tidak mengajar lagi di TK,” ucap singkat Bu Siti yang sepertinya sudah mampu memberikan pemahaman kepada mereka.

“Maafkan Ibu, anak-anakku. Kalian belum bisa memahami ketika ibu menjelaskan alasan yang sebenarnya dengan panggilan itu. Bukan sebutan itu yang  Ibu harapkan, akan tetapi hakikat dari peran guru itu lah mestinya yang dituju. Untuk apa disebut guru kalau pada akhirnya sebutan itu hanya mengurangi gerak pengabdian guru yang sebenarnya, karena terpasung oleh sistem dan kebijakan birokrasi pendidikan. Keikhlasan tergadaikan dengan tuntutan profesi yang diiming-iming dengan insentif dan tunjangan yang sepertinya bisa mensejahterakan guru. Tapi hati tak disambangi lagi oleh ketulusan dan keihklasan mendidik dan mengasuh anak. Sekarang, di tengah-tengah kalian, Ibu sudah melakukan peran seorang guru, meski tanpa kalian panggil dengan Guru. Bagi Ibu, tanpa sebutan guru jauh lebih membanggakan dan menentramkan hati,” ungkap hati Bu Siti mengiringi langkahnya menuju ke rumahnya. Ke enam anaknya dan dua puluh anak asuhnya sudah menanti kehadirannya.    

***) Maya Veri Oktavia , pegiat sastra anak dan Pengelola Lembaga Pendidikan Anak  di Yogyakarta Alamat : Jln Godean 330 Guyangan Nogotirto Sleman Yogya.

admin

Writer & Blogger

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Program Unggulan

jenis layanan

jadwal kegiatan

Isi Saran dan Masukan Anda disini