Oleh : Maya Veri Oktavia*) Hujan masih rintik membasah tanah sore itu. Tempias air hujan membuat genangan-genangan air di lantai rumah Pak Harun. Dua bocah tampak sibuk mengepel dan sekaligus bermain air. Permainan air mereka berhasil membuat lantai rata dengan air. Suara kecipak air oleh tangan-tangan mereka akhirnya menggelitik perhatian Pak Harun. “Bagaimana to kalian ini? Ayah suruh kalian mengepel, bukan untuk bermain-main seperti ini. Tambah pekerjaan saja,” ungkap Pak Harun menahan geram. Dua bocah itu seketika menghentikan aktifitasnya. “Sudah..sudah..Kalian mandi saja sana” perintah masih dengan nada tinggi. Kontan dua bocah itu berlarian ke dalam rumah, teriring rasa takut dengan luapan amarah ayah mereka. Di luar, langit terlihat mendung, membuat suasana kian temaram. Apalagi waktu mulai beranjak menuju malam. Dan hujan rupanya belum puas menumpahkan hasratnnya. Tak lagi gerimis, tapi benar-benar tercurah deras. Jalanan pun tampak lengang. Terasa benar sepi dan ngelangut. “Ayah, Dafa lapar.” “Rafa juga lapar Yah.” Dua bocah kakak beradik beringsut mendekati Pak Harun, berharap ayahnya akan mengajak mereka ke meja makan. “Sebentar lagi Bunda datang, pasti bawa makanan. Atau buat mie rebus saja.” Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Mie rebus akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk menu makan malam mereka. *** “Dafa, Bunda malu kalau wali kelasmu telepon Bunda lagi untuk mengadu tentang kenakalanmu di sekolah. Ingat baik-baik, jangan kamu ulangi lagi,” ucap Bu Dian di tengah menyantap sarapan pagi itu. Dafa mengangguk sekedarnya saja, disela menikmati paha ayam crispy buatan bunda. Beberapa menit kemudian rumah terlihat lengang, karena kedua jagoan rumah sudah berangkat ke sekolah. Hanya tinggal berdua. Itu pun mereka sibuk dengan persiapannya masing-masing untuk memulai beraktifitas di hari itu. “Bun, bukannya Ayah melarang Bunda untuk mengembangkan diri. Tapi tolong pertimbangkan waktu untuk bisa mendampingi anak-anak di rumah,” sela Pak Harun di tengah merapikan berkas persiapan mengajar. “Ya.” Bu Dian singkat menjawab, karena tampaknya paparan narasi di layar monitor notebooknya lebih menyita pikirannya dibandingkan ungkapan suaminya. Sekilas Pak Harun menghela nafas, menahan rasa yang tak berkenan dengan sikap istrinya itu. Tapi jadwal mengajar menuntut Pak Harun untuk tak lagi melanjutkan pembicaraannya. “Maaf ya yah, aku harus menyiapkan power point untuk presentasi nanti,” ucap bu Dian saat menghantarkan Pak Harun berangkat mengajar. Keduanya memang bergelut di dunia pendidikan. Entah, karena memang karena tarikan nurani atau sekedar mengejar profesi, atau bisa jadi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Pak Harun seorang dosen senior di sebuah Universitas Swasta ternama, sedangkan Bu Dian adalah seorang Guru SD dan Tutor freelanch di beberapa lembaga pendidikan. Tak jarang Bu Dian diminta untuk menjadi narasumber di berbagai acara yang bertemakan pendidikan anak dan keluarga. Keduanya memiliki prinsip yang tidak ngoyo untuk mengejar jabatan sebagai tenaga pemerintah alias PNS, sehingga sampai sekarang pun keduanya masih berstatus sebagai tenaga pengajar swasta. Akan tetapi, tarikan karier di luar rumah sepertinya mengoyak prinsip Bu Dian yang dulu pernah dibangun sebagai sebuah komitmen keluarga. Menjadi narasumber di banyak acara, mengajar di beberapa lembaga pendidikan, berperan aktif di berbagai seminar dan workshop, atau beraktifitas sosial dengan kolega sepertinya memang bisa melambungkan eksisitensi dirinya, akan tetapi tak sadar telah mengikis kepribadian sebagai sosok ibu sekaligus guru yang dibutuhkan dalam keluarga. “Ibunda secara fitrah adalah guru sejati untuk anak-anaknya. Kesejatian itu diwujudkan dalam kerahimannya menghantarkan putra putrinya menuju generasi cendekia dan berakhlak mulia. Untuk itu jangan engkau sia-siakan, wahai Ibunda, akan kesempatan berharga untuk mendampingi putra-putri tercinta. Karena kesempatan itu tak pernah bisa berulang. Kesalahan dalam menempuhi kesempatan ini akan menorehkan sisi gelap di kehidupan anak.” Bu Dian tiba-tiba menghentikan ketikannya. Ia tampak tercenung mencermati tulisannya sendiri. Diam terbungkam memakna lesatan-lesatan pikiran yang mulai berkelebatan. Tulisan itu telah menohok jauh ke dasar hatinya, memburai antara emosi dan nurani, antara ego dan panggilan hati. “Tak pantas aku menulis seperti ini. Benar-benar munafik,” batinnya merutuki dirinya sendiri. Selepas itu tak ada lagi tulisan yang muncul. Hanya ada tanda seru. Mungkin menyeru untuk menginstropeksi dirinya. Pada layar Handphone tertera,”Maaf, saya tidak bisa mengisi materi nanti, karena ada acara keluarga yang penting. Kalau Panitia berkenan, saya akan merekomendasikan Ibu Dila untuk menggantikan saya.” *** Sore itu kembali hujan deras mengguyur. Lantai pasrah menerima percikan air hujan. Lagi-lagi Dafa dan Rafa bermain air di serambi rumah. Pak Harun hanya tersenyum saja mengikuti permainan kedua jagoan kecilnya itu sembari menikmati pisang goreng hangat yang baru saja dihidangkan istri tercinta. “Ayah, ternyata menjadi guru itu tak berbatas pada profesi. Ketangguhan kita menjadi guru dalam keluarga akan menjadi modal yang luar biasa dalam mengembangkan diri kita untuk menjadi guru sejati,” ungkap Bu Dian membuka dialog sore itu, di tengah hujan yang mulai mereda. “Ayah sepakat itu, Bun. Bahkan keberadan guru hanya kamuflase saja, karena bukan panggilan hati, akan tetapi sekedar kepentingan profesi saja. Andai saja prinsip itu bisa dimiliki oleh semua guru, Ayah yakin pendidikan itu akan mencapai pada hakikat yang sesungguhnya,” kilah Ayah tak kalah filosofisnya. Geriak waktu merambat perlahan, menyusuri temaram senja. Dan perlahan pula kesadaran akan pilihan hatinya menghantarkan pada kedamaian keluarga yang hakiki. Pilihan hati untuk menjadi guru sejati.*** *)Maya Veri Oktavia, pegiat sastra anak dan Pengelola Lembaga Pendidikan Anak di Yogyakarta. Alamat : Jln Godean 330 Guyangan Nogotirto Sleman Yogya. Hp: 08562912505
TERPAHAT ASA PAK TUWA
Oleh : Maya Veri Oktavia, S.Pd*) Tanah masih basah oleh guyuran hujan semalam. Pijakan kaki renta memaksa tanah pasrah membenam diri di tapak kakinya. Aroma lembab tanah yang masih basah mendesak lubang hidung lelaki tua itu untuk menghirupnya. “Aroma yang selalu kurindukan, wangi tanah yang selalu menebar kesejukan,”gumam lelaki tua mengiringi langkahnya menuju ke suatu tempat. Angin semilir melangut sunyi pagi itu. Beberapa warga tampak mulai beraktifitas mengusir hawa dingin yang menyeruak diantara pekatnya kabut. Suara sapi melenguh, bersahutan dengan suara – suara hewan piaraan yang lain. Kehidupan tampak mulai mengerjap seiring menyembulnya sinar mentari. Lelaki tua itu masih tegak melangkah menyusuri jalanan. Tepat di depan sebuah warung makan langkahnya terhenti. “Kopi panas dan nasi sayur lauk telor dibungkus ya,” pinta lelaki tua pada pemilik warung. Ibu pemilik warung kemudian bergegas menyiapkan pesanan lelaki tua itu. Tak berapa lama, sebungkus nasi dan kopi pesananya sudah ditangannya. Tiga lembar uang lima ribuan disodorkannya ke pemilik warung. “Terima kasih Pak. Sudah senang Bapak berkenan mencicipi masakan saya. Ini belum ada apa-apanya dengan yang sudah anak saya dapatkan dari Bapak,” tukas ibu pemilik warung menolak uang yang diberikan lelaki tua itu. Setelah beberapa saat meyakinkan, lelaki tua itu akhirnya luruh juga, membawa pesanan tanpa bayar. “Alhamdulillah, anak-anak belum datang,” ucap lirih lelaki tua itu sesampainya di sebuah gedung yang mirip sebuah pendopo pertemuan. Lelaki tua itu bergegas masuk ke dalam sebuah banguanan kecil di samping kanan gedung. Bangunan itu mirip sebuah rumah kecil yang didesain seperti sebuah kantor. Ada 3 komputer tertata di meja depan, beberapa papan informasi tertempel di dinding ruangan depan secara artistik. Jajaran rak-rak dengan susunan buku tertata rapi di ruang tengah, sekilas pandang seperti ruang perpustakaan Di ruang belakang, lelaki tua itu mengambil seperangkat alat makan. Ia kemudian menuangkan kopi panasnya ke dalam gelas bening. Dibukanya bungkusan nasi untuk kemudian disuap dengan selera makan yang sewajarnya. “Selamat pagi, Pak Tuwa,” sapa seorang pemuda tanggung usia saat memasuki ruangan. “Weih, kau sudah datang lebih awal dari yang lain. Ayo sini, makan bersama Bapak,” ajak lelaki tua yang ternyata bernama Tuwa. Nama lengkapnya sesuai di papan yang tertempel di ruangan itu adalah Tuwarjo, Pengelola Sekolah Kehidupan Agrapana. Tampak jelas di papan profil yang tertambat di dinding ruangan, sebuah sekolah yang di gagas Pak Tuwa telah berjalan sudah hampir seperempat abad. Sejak berdirinya di tahun 1994 sudah hampir 400an siya telah mencercap belajar di sekolah kehidupan Pak Tuwa. Di samping papan profil berjajar foto para tamu yang merupakan tokoh-tokoh penting di negeri ini yang sudah berkunjung ke sekolah Kehidupan. Melihat sekilas tentu saja akan terbetik dalam benak bahwa sekolah ini bukan sekolah biasa. Terlebih penggagasnya menjadi tokoh istimewa dibalik laku pendidikan yang ada di sekolah Agrapana ini. “Terima kasih Pak Tuwa, saya sudah menyantap nasi goreng spesial buatan emak saya,”jawab sang pemuda itu. “Karman, kelasmu kan yang belajar hari ini, sudah disiapkan belum?” tanya pak Tuwa pada pemuda yang bernama Karman. “Sudah Pak Tuwa, kemaren saya sudah menginformasikan ke adik-adik utuk bersiap belajar bertani,” jelas Karman. Begitulah Pak Tuwa mengkonsep belajar di sekolah kehidupan. Tidak harus mengangkat guru, karena dari beberapa lulusan selalu ada yang terpanggil untuk mengabdikan diri di lembaga. Sistem yang dibangun adalah seperti keluarga. Kakak tingkat ditempa untuk memiliki rasa tanggung jawab merengkuh adik-adik kelasnya menuju kesuksesan. Kelas yang dibentuk tidak ubahnya seperti kelas kejuruan. Ada kelas pertanian, tata boga, tata busana, teknik mesin otomotif, design grafis, dan manajemen. Lulusan yang sudah berhasil membuka usaha akan menjadi kelas praktek untuk adik-adik kelas di sekolah kehidupan ini. Konsep yang yang sedehana dan mudah untuk dipahami, tapi bermodal selaksa pengabdian. *** Pak Tuwa adalah guru PNS di sebuah sekolah Kejuruan Negeri beberapa tahun silam. Tuntutan menjadi seorang guru PNS antara pengabdian dan karir menjadi tarik ulur di tambatan keikhlasan pak Tuwa. Satu sisi pengabdian yang dilakukannya untuk mendidik selalu tergerus oleh persaingan karir di lembaga. Seorang abdi pemerintah tentu saja tidak akan pernah bisa bebas dari aturan yang menyetir setiap langkah dan geraknya sebagai guru. Guru harus memenuhi jam mengajar sesuai aturan, harus membuat administrasi sesuai ketentuan, harus memenuhi standar kepangkatan tertentu dengan seabrek portofolio yang harus dipersiapkan, dan satu sisi guru juga harus mampu mentranfer nilai-nilai karakter pada anak didik yang cenderung normatif dan segala ragam keharusan-keharusan yang membelenggu kebebasana guru dalam berkiprah. Situasi akan membuat rapuh diri, manakala terjadi gesekan sosial tersebab kesenjangan antara kesejahteraan teman guru yang PNS dan honorer. “Pak, mohon maaf, atas hasil rembug dengan keluarga, dan pertimbangan yang sudah lama saya lakukan, maka keputusan saya insyaaAllah sudah bulat untuk resign.” Begitu Pak Tuwa akhirnya menyampaikan keputusan akhirnya di hadapan kepala sekolah untuk mengundurkan diri sebagai guru PNS di sebuah sekolah Kejuruan favorit saat itu. Keputusan yang sangat disayangkan oleh beberapa teman guru, meski ada yang bersyukur atas keputusan itu. Artinya daya saing untuk menduduki jabatan starategis di sekolah bisa agak berkurang, bagi beberapa guru yang menganggap Pak Tuwa sebagai pesaing. Selepas dari sekolah kejuruan itulah, Pak Tuwa menggagas sebuah Sekolah Kehidupan yang dinamainya Agrapana yang memiliki makna sumber kehidupan. Di desa kelahirannya, Pak Tuwa didukung keluarganya mengembangkan pengabdian tanpa batas untuk pendidikan masyarakat. Direngkuhnya anak-anak yang tak terjamah oleh pendidikan untuk dididiknya. Melalui konsep pendidikan berbasis masyarakat, Pak Tuwa mengembangkan inovasi dan memahat asanya di pedepokan kehidupan yang kini dikelolanya. Tali temali birokrasi di dunia pendidikan sedikit demi sedikit diurai, untuk kemudian dirajutnya kembali menjadi rangkaian bentuk pendidikan yang lebih nyata. Dari buku kehidupan, anak akan belajar banyak mata pelajaran. Pak Tuwa dengan asanya yang terpahat di kedalaman pengadiannya telah meramu kehidupan menjadi sebuah pembelajaran yang begitu indah untuk diselami bagi para siya nya. Mereka akan belajar bukan dengan keterpakasaan, atas jejalan kurikulum yang harus dikuasai. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka sudah memiliki kurikulum sendiri. Para guru hanya akan membantu mereka untuk menjabarkan kurikulum yang telah mereka buat sendiri untuk dipraktekkannya dalam kehidupan nyata. “Satu pola pikir yang harus mengada di Agrapana dan menjadi sebuah komitmen bersama adalah sebenar-benar kesuksesan hidup itu adalah mampu mensukseskan orang lain” Pak Tuwa mengawali pembicaraaan pada pertemuan dengan para Kepala SMK se-kabupaten di padepokan siang itu. Petemuan tampak
TRAH GURU
Oleh : Maya Veri Oktavia*) Tak ada istimewanya menjadi anak seorang guru. Begitu pernyataan yang berani ku simpulkan setelah mengamati dan mengikuti perjalanan hidup bapak. Sudah 27 tahun bapak menjalani profesi sebagai guru, tak ada perubahan yang berarti pada kondisi ekonomi keluarga. Meski pembangunan telah meninggalkan kemajuan, tapi itu tak berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga. Kalaupun ada tunjangan dan kenaikan gaji, akan selalu beriring dengan semakin meningkatnya biaya hidup. Sehingga gaji bapak bisa dikatakan pas-pasan saja, tak bisa membeli perkakas yang bisa menunjukkan kemapanan ekonomi. Orang sering menyebutnya dapat gaji tapi tidak bisa nyanthel. Meskipun sebenarnya bapak bisa berhutang dengan menggunakan slip gajinya untuk membelikan ku motor baru, laptop, atau handphone yang android. “Bapak tidak mau berhutang untuk memenuhi sesuatu yang bukan menjadi kebutuhan. Lha wong Tuhan saja mengabulkan permohonan manusia sesuai dengan kebutuhannya, masa kita mau bersikap melebihi Tuhan.” Begitu nasehat Bapak sok filosofis saat ku merengek minta dibelikan laptop untuk keperluan sekolah. Melihat kernyit dahi sebagai tanda ketidakpahamanku, Ibu kemudian menjelaskan ,“Kalau kamu sekolah khusus komputer, bapak pasti berusaha membelikan, karena laptop menjadi kebutuhan belajar yang utama. Kalau hanya sebagai pendukung saja, kamu bisa menggunakan komputer bapak. Begitu kan Pak? “ Anggukan kepala Bapak yang menunjukkan kekompakan keduanya semakin memupuskan harapanku untuk memiliki laptop. “Komputer ejaan lama itu?” Tak ada ketersinggungan yang tampak di raut wajah bapak saat ejekanku terlontar dengan penuh ekspresi. “Bersyukurlah dengan apa yang ada maka kamu akan merasakan kemanfaatannya,” seloroh Bapak sembari menggoyangkan kepalaku yang terasa semakin pusing memahami dan sekaligus menerima perkataan bapak. *** Menjadi munafik. Itu sepenuhnya yang ku rasa. Dibalik keluhuran bapak sebagai guru, aku tidak bebas menjadi diri sendiri. Aku harus tampil sederhana ditengah temen-teman perempuanku yang bisa tampil modis. Meredam dorongan hati untuk menikmati euphoria dugem di saat teman-teman sekolah bisa melakukannya di akhir pekan. Berboncengan dengan teman lelaki saja sudah menjadi pusat perhatian warga saat berpapasan. Sembari tersenyum menggoda, bu Tika, tetangga depan rumah berseloroh saat ku berboncengan dengan Dion sepulang belajar kelompok ,” ehem, ehem, waduh mbak Sekar sudah bawa calon mantu untuk Pak guru.” Aku tak habis pikir dengan pandangan masyarakat. Ketika aku berprestasi, memiliki kepribadian yang baik, sopan dan berbagai deretan kebaikan yang lain bukanlah sesuatu yang istimewa menurut masyarakat. Karena itu sudah sewajarnya dimiliki oleh anak seorang guru. Tapi ketika aku bersikap agak menyimpang, masyarakat cepat sekali merespon sebagai sebuah aib bagi keluarga seorang guru. Aku benar-benar terkekang oleh ikatan profesi bapak. Aku menjadi benci profesi guru. “Sekar, bulan depan bapak mengajukan pensiun dini. Simbah meminta bapak ngopeni panti asuhan,” ucap bapak sore itu. Sontak hatiku senang luar biasa. “Aku akan terbebas dari ikatan profesi bapak,” batinku bersorak girang. “Kalau Bapak tidak jadi guru, terus bapak bekerja apa?” tanyaku sedikit berpikir pragmatis. Bapak beringsut mendekatiku. Perlahan ia berucap,“Oalah nduk. Berkali-kali Bapak sudah pernah katakan, rezeki itu sudah diatur macam dan besarannya oleh Tuhan, kalaupun kita bekerja itu adalah bentuk kewajiban sebagai makhluk Tuhan untuk berikhtiar, ” Ku mencoba mencerna untuk kesekian kalinya ungkapan bapak, meski berujung pada kegagalan pemahaman. Pikiranku mengembara, membayangkan babak baru yang harus dihadapi keluargaku. Membayang dan menaksirkan peristiwa yang akan ku lalui selepas bapak tak lagi menjadi guru. Ketika aku terbebas dari konsekuensi profesi bapak, maka satu konsekuensi lain adalah hilangnya sumber penghasilan keluarga. Kegamangan semakin langut, dan buyar sesaat terdengar teriakan ibu untuk mengajak sholat magrib berjamaah. *** “Selamat Pagi, Mbak Guru.” sekitar 10 anak berusia kisaran 8 tahun menyapa dan berebut bersalaman denganku. Semenjak aku menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan jurusan PGSD, pilihan jurusan terahirku saat SNMPTN, aku tergerak untuk membantu bapak mengelola PKBM yang membuka program kesetaraan. Bapak merintisnya sebagai wadah mengelola pendidikan terutama bagi anak-anak panti. Bergelut dengan aktifitas mendidik dan mengajar anak-anak perlahan mengikis kebencianku pada profesi guru yang dulu sempat menyulut emosi. Takdir Tuhan memberangus lunas segala macam angan bahkan harapan yang dulu terbangun. Dan ternyata doa bapak dan ibu telah mengintervensi takdir Tuhan. “Bapak dan Ibu berharap kamu bisa mengabdikan diri untuk masyarakat dengan ilmumu, dengan begitu kamu, nduk, akan menjadi mulia dan ditinggikan derajatmu oleh Tuhan,” ungkap Bapak saat membaca hasil pengumuman kelulusanku sebagai mahasiswa PGSD. “Mbak Guru, aku sudah mengerjakan PR nya lo,” celetuk Ahsan menyadarkan ku dari lamunan. Ku berikan senyum dan acungan jempol untuknya. Aku segera mengajak mereka membuat lingkaran untuk kegiatan awal sebelum belajar. Aku dan anak-anak bermain berputar di garis lingkaran. Sebagaimana meniti di garis lingkaran trah guru yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk simbah, pakde, bapak dan aku. Menyadarinya sebagai sebuah takdir Tuhan, melambari kehati-hatian ku di tiap aktifitas sebagai guru. Baik buruknya ucap dan sikap ku tak lagi di bawah bayang –bayang profesi, tapi tergerak atas amanat Tuhan. *) Selamat Hari Guru. *) Maya Veri Oktavia, Pegiat Gerakan Mencintai Buku Sejak Dini dan Pengelola PAUD Islam Terpadu Mekar Insani Yogyakarta. Alamat : Jln Godean 330 Guyangan Nogotirto Sleman Yogya. Hp: 082134400101
Outbound Family Gathering dan Akhirussanah
Kegiatan Outbound Family Gathering dan akhirussanah di Ledok Sambi Sleman DIY. pada hari Sabtu 1 Juni 2024 pemberangkatan dari pukul 07.00 – 15.00 tiba di sekolah. kegiatan ini melibatkan orang tua/walimurid dan didampingi oleh ustadzah