Oleh : Maya Veri Oktavia*)
Tak ada istimewanya menjadi anak seorang guru. Begitu pernyataan yang berani ku simpulkan setelah mengamati dan mengikuti perjalanan hidup bapak. Sudah 27 tahun bapak menjalani profesi sebagai guru, tak ada perubahan yang berarti pada kondisi ekonomi keluarga. Meski pembangunan telah meninggalkan kemajuan, tapi itu tak berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga. Kalaupun ada tunjangan dan kenaikan gaji, akan selalu beriring dengan semakin meningkatnya biaya hidup. Sehingga gaji bapak bisa dikatakan pas-pasan saja, tak bisa membeli perkakas yang bisa menunjukkan kemapanan ekonomi. Orang sering menyebutnya dapat gaji tapi tidak bisa nyanthel. Meskipun sebenarnya bapak bisa berhutang dengan menggunakan slip gajinya untuk membelikan ku motor baru, laptop, atau handphone yang android.
“Bapak tidak mau berhutang untuk memenuhi sesuatu yang bukan menjadi kebutuhan. Lha wong Tuhan saja mengabulkan permohonan manusia sesuai dengan kebutuhannya, masa kita mau bersikap melebihi Tuhan.” Begitu nasehat Bapak sok filosofis saat ku merengek minta dibelikan laptop untuk keperluan sekolah.
Melihat kernyit dahi sebagai tanda ketidakpahamanku, Ibu kemudian menjelaskan ,“Kalau kamu sekolah khusus komputer, bapak pasti berusaha membelikan, karena laptop menjadi kebutuhan belajar yang utama. Kalau hanya sebagai pendukung saja, kamu bisa menggunakan komputer bapak. Begitu kan Pak? “ Anggukan kepala Bapak yang menunjukkan kekompakan keduanya semakin memupuskan harapanku untuk memiliki laptop.
“Komputer ejaan lama itu?”
Tak ada ketersinggungan yang tampak di raut wajah bapak saat ejekanku terlontar dengan penuh ekspresi.
“Bersyukurlah dengan apa yang ada maka kamu akan merasakan kemanfaatannya,” seloroh Bapak sembari menggoyangkan kepalaku yang terasa semakin pusing memahami dan sekaligus menerima perkataan bapak.
***
Menjadi munafik. Itu sepenuhnya yang ku rasa. Dibalik keluhuran bapak sebagai guru, aku tidak bebas menjadi diri sendiri. Aku harus tampil sederhana ditengah temen-teman perempuanku yang bisa tampil modis. Meredam dorongan hati untuk menikmati euphoria dugem di saat teman-teman sekolah bisa melakukannya di akhir pekan. Berboncengan dengan teman lelaki saja sudah menjadi pusat perhatian warga saat berpapasan.
Sembari tersenyum menggoda, bu Tika, tetangga depan rumah berseloroh saat ku berboncengan dengan Dion sepulang belajar kelompok ,” ehem, ehem, waduh mbak Sekar sudah bawa calon mantu untuk Pak guru.”
Aku tak habis pikir dengan pandangan masyarakat. Ketika aku berprestasi, memiliki kepribadian yang baik, sopan dan berbagai deretan kebaikan yang lain bukanlah sesuatu yang istimewa menurut masyarakat. Karena itu sudah sewajarnya dimiliki oleh anak seorang guru. Tapi ketika aku bersikap agak menyimpang, masyarakat cepat sekali merespon sebagai sebuah aib bagi keluarga seorang guru. Aku benar-benar terkekang oleh ikatan profesi bapak. Aku menjadi benci profesi guru.
“Sekar, bulan depan bapak mengajukan pensiun dini. Simbah meminta bapak ngopeni panti asuhan,” ucap bapak sore itu. Sontak hatiku senang luar biasa. “Aku akan terbebas dari ikatan profesi bapak,” batinku bersorak girang.
“Kalau Bapak tidak jadi guru, terus bapak bekerja apa?” tanyaku sedikit berpikir pragmatis.
Bapak beringsut mendekatiku. Perlahan ia berucap,“Oalah nduk. Berkali-kali Bapak sudah pernah katakan, rezeki itu sudah diatur macam dan besarannya oleh Tuhan, kalaupun kita bekerja itu adalah bentuk kewajiban sebagai makhluk Tuhan untuk berikhtiar, ”
Ku mencoba mencerna untuk kesekian kalinya ungkapan bapak, meski berujung pada kegagalan pemahaman. Pikiranku mengembara, membayangkan babak baru yang harus dihadapi keluargaku. Membayang dan menaksirkan peristiwa yang akan ku lalui selepas bapak tak lagi menjadi guru. Ketika aku terbebas dari konsekuensi profesi bapak, maka satu konsekuensi lain adalah hilangnya sumber penghasilan keluarga. Kegamangan semakin langut, dan buyar sesaat terdengar teriakan ibu untuk mengajak sholat magrib berjamaah.
***
“Selamat Pagi, Mbak Guru.” sekitar 10 anak berusia kisaran 8 tahun menyapa dan berebut bersalaman denganku. Semenjak aku menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan jurusan PGSD, pilihan jurusan terahirku saat SNMPTN, aku tergerak untuk membantu bapak mengelola PKBM yang membuka program kesetaraan. Bapak merintisnya sebagai wadah mengelola pendidikan terutama bagi anak-anak panti. Bergelut dengan aktifitas mendidik dan mengajar anak-anak perlahan mengikis kebencianku pada profesi guru yang dulu sempat menyulut emosi. Takdir Tuhan memberangus lunas segala macam angan bahkan harapan yang dulu terbangun. Dan ternyata doa bapak dan ibu telah mengintervensi takdir Tuhan. “Bapak dan Ibu berharap kamu bisa mengabdikan diri untuk masyarakat dengan ilmumu, dengan begitu kamu, nduk, akan menjadi mulia dan ditinggikan derajatmu oleh Tuhan,” ungkap Bapak saat membaca hasil pengumuman kelulusanku sebagai mahasiswa PGSD.
“Mbak Guru, aku sudah mengerjakan PR nya lo,” celetuk Ahsan menyadarkan ku dari lamunan. Ku berikan senyum dan acungan jempol untuknya. Aku segera mengajak mereka membuat lingkaran untuk kegiatan awal sebelum belajar. Aku dan anak-anak bermain berputar di garis lingkaran. Sebagaimana meniti di garis lingkaran trah guru yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk simbah, pakde, bapak dan aku. Menyadarinya sebagai sebuah takdir Tuhan, melambari kehati-hatian ku di tiap aktifitas sebagai guru. Baik buruknya ucap dan sikap ku tak lagi di bawah bayang –bayang profesi, tapi tergerak atas amanat Tuhan. *) Selamat Hari Guru.
*) Maya Veri Oktavia, Pegiat Gerakan Mencintai Buku Sejak Dini dan Pengelola PAUD Islam Terpadu Mekar Insani Yogyakarta.
Alamat : Jln Godean 330 Guyangan Nogotirto Sleman Yogya. Hp: 082134400101