Oleh : Maya Veri Oktavia, S.Pd*)
Tanah masih basah oleh guyuran hujan semalam. Pijakan kaki renta memaksa tanah pasrah membenam diri di tapak kakinya. Aroma lembab tanah yang masih basah mendesak lubang hidung lelaki tua itu untuk menghirupnya.
“Aroma yang selalu kurindukan, wangi tanah yang selalu menebar kesejukan,”gumam lelaki tua mengiringi langkahnya menuju ke suatu tempat.
Angin semilir melangut sunyi pagi itu. Beberapa warga tampak mulai beraktifitas mengusir hawa dingin yang menyeruak diantara pekatnya kabut. Suara sapi melenguh, bersahutan dengan suara – suara hewan piaraan yang lain. Kehidupan tampak mulai mengerjap seiring menyembulnya sinar mentari. Lelaki tua itu masih tegak melangkah menyusuri jalanan. Tepat di depan sebuah warung makan langkahnya terhenti.
“Kopi panas dan nasi sayur lauk telor dibungkus ya,” pinta lelaki tua pada pemilik warung. Ibu pemilik warung kemudian bergegas menyiapkan pesanan lelaki tua itu. Tak berapa lama, sebungkus nasi dan kopi pesananya sudah ditangannya. Tiga lembar uang lima ribuan disodorkannya ke pemilik warung.
“Terima kasih Pak. Sudah senang Bapak berkenan mencicipi masakan saya. Ini belum ada apa-apanya dengan yang sudah anak saya dapatkan dari Bapak,” tukas ibu pemilik warung menolak uang yang diberikan lelaki tua itu. Setelah beberapa saat meyakinkan, lelaki tua itu akhirnya luruh juga, membawa pesanan tanpa bayar.
“Alhamdulillah, anak-anak belum datang,” ucap lirih lelaki tua itu sesampainya di sebuah gedung yang mirip sebuah pendopo pertemuan. Lelaki tua itu bergegas masuk ke dalam sebuah banguanan kecil di samping kanan gedung. Bangunan itu mirip sebuah rumah kecil yang didesain seperti sebuah kantor. Ada 3 komputer tertata di meja depan, beberapa papan informasi tertempel di dinding ruangan depan secara artistik. Jajaran rak-rak dengan susunan buku tertata rapi di ruang tengah, sekilas pandang seperti ruang perpustakaan Di ruang belakang, lelaki tua itu mengambil seperangkat alat makan. Ia kemudian menuangkan kopi panasnya ke dalam gelas bening. Dibukanya bungkusan nasi untuk kemudian disuap dengan selera makan yang sewajarnya.
“Selamat pagi, Pak Tuwa,” sapa seorang pemuda tanggung usia saat memasuki ruangan.
“Weih, kau sudah datang lebih awal dari yang lain. Ayo sini, makan bersama Bapak,” ajak lelaki tua yang ternyata bernama Tuwa. Nama lengkapnya sesuai di papan yang tertempel di ruangan itu adalah Tuwarjo, Pengelola Sekolah Kehidupan Agrapana. Tampak jelas di papan profil yang tertambat di dinding ruangan, sebuah sekolah yang di gagas Pak Tuwa telah berjalan sudah hampir seperempat abad. Sejak berdirinya di tahun 1994 sudah hampir 400an siya telah mencercap belajar di sekolah kehidupan Pak Tuwa. Di samping papan profil berjajar foto para tamu yang merupakan tokoh-tokoh penting di negeri ini yang sudah berkunjung ke sekolah Kehidupan. Melihat sekilas tentu saja akan terbetik dalam benak bahwa sekolah ini bukan sekolah biasa. Terlebih penggagasnya menjadi tokoh istimewa dibalik laku pendidikan yang ada di sekolah Agrapana ini.
“Terima kasih Pak Tuwa, saya sudah menyantap nasi goreng spesial buatan emak saya,”jawab sang pemuda itu.
“Karman, kelasmu kan yang belajar hari ini, sudah disiapkan belum?” tanya pak Tuwa pada pemuda yang bernama Karman.
“Sudah Pak Tuwa, kemaren saya sudah menginformasikan ke adik-adik utuk bersiap belajar bertani,” jelas Karman.
Begitulah Pak Tuwa mengkonsep belajar di sekolah kehidupan. Tidak harus mengangkat guru, karena dari beberapa lulusan selalu ada yang terpanggil untuk mengabdikan diri di lembaga. Sistem yang dibangun adalah seperti keluarga. Kakak tingkat ditempa untuk memiliki rasa tanggung jawab merengkuh adik-adik kelasnya menuju kesuksesan. Kelas yang dibentuk tidak ubahnya seperti kelas kejuruan. Ada kelas pertanian, tata boga, tata busana, teknik mesin otomotif, design grafis, dan manajemen. Lulusan yang sudah berhasil membuka usaha akan menjadi kelas praktek untuk adik-adik kelas di sekolah kehidupan ini. Konsep yang yang sedehana dan mudah untuk dipahami, tapi bermodal selaksa pengabdian.
***
Pak Tuwa adalah guru PNS di sebuah sekolah Kejuruan Negeri beberapa tahun silam. Tuntutan menjadi seorang guru PNS antara pengabdian dan karir menjadi tarik ulur di tambatan keikhlasan pak Tuwa. Satu sisi pengabdian yang dilakukannya untuk mendidik selalu tergerus oleh persaingan karir di lembaga. Seorang abdi pemerintah tentu saja tidak akan pernah bisa bebas dari aturan yang menyetir setiap langkah dan geraknya sebagai guru. Guru harus memenuhi jam mengajar sesuai aturan, harus membuat administrasi sesuai ketentuan, harus memenuhi standar kepangkatan tertentu dengan seabrek portofolio yang harus dipersiapkan, dan satu sisi guru juga harus mampu mentranfer nilai-nilai karakter pada anak didik yang cenderung normatif dan segala ragam keharusan-keharusan yang membelenggu kebebasana guru dalam berkiprah. Situasi akan membuat rapuh diri, manakala terjadi gesekan sosial tersebab kesenjangan antara kesejahteraan teman guru yang PNS dan honorer.
“Pak, mohon maaf, atas hasil rembug dengan keluarga, dan pertimbangan yang sudah lama saya lakukan, maka keputusan saya insyaaAllah sudah bulat untuk resign.” Begitu Pak Tuwa akhirnya menyampaikan keputusan akhirnya di hadapan kepala sekolah untuk mengundurkan diri sebagai guru PNS di sebuah sekolah Kejuruan favorit saat itu. Keputusan yang sangat disayangkan oleh beberapa teman guru, meski ada yang bersyukur atas keputusan itu. Artinya daya saing untuk menduduki jabatan starategis di sekolah bisa agak berkurang, bagi beberapa guru yang menganggap Pak Tuwa sebagai pesaing.
Selepas dari sekolah kejuruan itulah, Pak Tuwa menggagas sebuah Sekolah Kehidupan yang dinamainya Agrapana yang memiliki makna sumber kehidupan. Di desa kelahirannya, Pak Tuwa didukung keluarganya mengembangkan pengabdian tanpa batas untuk pendidikan masyarakat. Direngkuhnya anak-anak yang tak terjamah oleh pendidikan untuk dididiknya. Melalui konsep pendidikan berbasis masyarakat, Pak Tuwa mengembangkan inovasi dan memahat asanya di pedepokan kehidupan yang kini dikelolanya.
Tali temali birokrasi di dunia pendidikan sedikit demi sedikit diurai, untuk kemudian dirajutnya kembali menjadi rangkaian bentuk pendidikan yang lebih nyata. Dari buku kehidupan, anak akan belajar banyak mata pelajaran. Pak Tuwa dengan asanya yang terpahat di kedalaman pengadiannya telah meramu kehidupan menjadi sebuah pembelajaran yang begitu indah untuk diselami bagi para siya nya. Mereka akan belajar bukan dengan keterpakasaan, atas jejalan kurikulum yang harus dikuasai. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka sudah memiliki kurikulum sendiri. Para guru hanya akan membantu mereka untuk menjabarkan kurikulum yang telah mereka buat sendiri untuk dipraktekkannya dalam kehidupan nyata.
“Satu pola pikir yang harus mengada di Agrapana dan menjadi sebuah komitmen bersama adalah sebenar-benar kesuksesan hidup itu adalah mampu mensukseskan orang lain” Pak Tuwa mengawali pembicaraaan pada pertemuan dengan para Kepala SMK se-kabupaten di padepokan siang itu. Petemuan tampak semakin menghangat dengan dialog dan pertanyaan yang terlontar dari para audience mengenai konsep-konsep pendidikan pak Tuwa.
“Keberhasilan pendidikan akan tercapai apabila mampu membentuk para siya yang tangguh fikir, tangguh rasa, dan raganya di tiap zaman yang dilaluinya. Sebagaimana Tuhan telah menitipkan generasi baru selalu akan teriring rizki yang berupa banyak ragamnya, salah satunya kemampuan yang disiapkan pada zamannya. Orang tua, guru atau apapun yang disebut pendidik hanya bertugas mengeksplor kemampuan yang sejatinya sudah mengada dalam diri mereka.” begitu Pak Tuwa menyampaikan pernyataan di penghujung acara. Pernyataan Pak Tuwa telah mendobrak kekakuan sistem pendidikan yang ada, dan membuka seluas-luasnya paradigma pendidikan yang yang sesungguhnya. Kurikulum pendidikan yang nyata telah terpahat di ruang asa pak Tuwa di sekolah kehidupan Agrapana.
Yogyakarta, November 2019
Siya : sebutan siswa dari bahasa sanskerta.
*) Maya Veri Oktavia, S.Pd, Pengelola PAUD Islam Terpadu Mekar Insani, dan pegiat Literasi
“Gerakan Mencintai Buku Sejak Dini” di TBM Mekar Insani Yogyakarta
Tinggal di Jln Godean no 330 Nogotirto Sleman Yogyakarta