Call Us

+62-822-4461-7288

Office Mekar

Jl Suryodiningratan No.MJ II/726

<strong>MAS GURU KARDI</strong>

Oleh : MF. Oktavia*)

Pagi terlihat remang oleh saputan kabut. Jalanan di kampung Mranggen masih senyap dari aktifitas warga. Hanya sesekali, terlihat satu, dua  warga kampung berjalan dengan sekeronjot sayuran untuk    dibawanya ke pasar. Tak berapa lama, sayup terdengar deru mesin motor dari ujung jalan. Kian lama terdengar semakin keras, bahkan memekakkan telinga orang yang dilaluinya, termasuk segerombol bapak-bapak yang tengah ngopi di warung Yu Kanti.  Meski begitu, tidak ada respon yang negatif dari mereka, bahkan yang terlihat malah sapaan yang menyenangkan.

“Hati-Hati mas guru, sugeng ngayahi tugas,” sapa khas salah seorang dari gerombolan warga yang sepertinya sudah sangat akrab dengan pengendara motor itu.

“Dari jauh sudah bisa diterka, kalau mas guru Kardi yang bakal lewat,” sahut yang laen.

Lelaki pengendara motor yang disebut mereka dengan sebutan mas guru Kardi itu pun berhenti sejenak, menimpali sapaan  mereka dengan tak kalah akrabnya,” lha ya jelas to, kalau tidak ada mas guru Kardi, ya tidak rame.”

“Permisi, monggo sedoyo,” pamit mas Guru Kardi kemudian.

Bapak-bapak itu pun mengangguk mempersilahkan mas Guru Kardi berlalu dari hadapan mereka, menyisakan kepulan asap yang keluar dari knalpot motor butut mas guru Kardi.

“Kasihan nasib guru muda itu. Kurang baik apa dia itu, koq yo masih disia-siakan dan selalu dianggap kurang oleh keluarga istrinya,” ucap seorang bapak membuka pembicaraan tentang mas guru Kardi.

“Lha iya ya, sudah dibela-belain kerja dari pagi sampai sore, masih sering saja mertuanya itu mengumpat-umpat, di depan banyak warga lagi ,” timpal yang lain terlihat menahan geram.

                                                ***

        Tujuh tahun menjadi guru honorer di SD negeri Mranggen telah  memahat niat kuat di hati mas guru Kardi untuk mengabdi, mendidik anak-anak sepenuh hati. Tidak hanya anak-anak yang menjadi siswanya, tetapi siapa pun yang ingin belajar, selalu mendapat layanan pengajaran darinya dengan tulus ikhlas. Membisniskan peran guru di kampung kecil seperti Mranggen sangatlah sulit, dan bisa jadi untung tidak didapatkan, keikhlasan malah tergadaikan.

 Di sela-sela kegiatannya mas guru Kardi juga membina sebuah komunitas muda-mudi yang kegiatan utamanya menulis. Penuh perjuangan dan tantangan yang luar biasa untuk mengajak muda-mudi kampung yang tak berpendidikan tinggi seperti itu. Apalagi, alur hidup mereka sudah teracuni  oleh  pikiran orang tua mereka untuk bagaimana bisa bekerja agar menghasilkan banyak uang,  dan bukan untuk  belajar. Sedangkan membuat karya tulis itu bukan dianggap pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi kondisi itu tak menyurutkan kegigihan mas guru Kardi untuk terus memberi semangat dan membina mereka berdasarkan pengalamannya. Kebetulan Kardi sejak usia muda memang senang menulis, bahkan tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di media massa. Kardi Putra Rahardian, nama pena Mas Guru Kardi sudah tak asing lagi di kalangan para penulis lokal Jogja. Tapi ironisnya, tak menjadikan berharga di mata keluarganya.

“Jadi orang itu jangan sok suci, sok ikhlas, terima mengajar dan mengurusi orang sana sini tanpa ada gaji.  Kelihatannya saja sibuk kerja dari pagi sampai malam, tapi kenyataannya kebutuhan anak istri tidak tercukupi,” keluh  Ratinah, istri Kardi.

“Sabar dan yakinlah Bu, Tuhan tidak tidur. Siapapun yang ikhlas membantu kesulitan orang lain, kesulitan kita akan terbantukan atas kuasa Tuhan,” ungkap Kardi

“Huh! Makan itu sabar. Lapar tidak bisa menjadi kenyang karena sabar saja, Mas” ucap Ratinah sembari berkacak pinggang di hadapan Kardi.

Kalau sudah begitu, mas guru Kardi hanya bisa terdiam bungkam, agar tak terjadi pertengkaran yang semakin meruncing. Karena disadarinya gaji sebagai tenaga honorer memang sementara belum bisa membuktikan terjaminnya kesejahteraan keluarganya. Keikhlasan tidak bisa menjadi prasyarat turunnya tunjangan atau kenaikan pangkat bagi seorang guru. Karena itulah, istri dan mertuanya sangat tidak setuju dengan pekerjaan dan aktifitas Kardi selama ini.

“Sampai kapan gaji suamimu bisa membuat kamu kaya. Sepertinya jabatan jadi guru itu hebat, tapi gaji  selalu mepet. Lha mbok dia disuruh daftar TKI saja, satu tahun kerja di Hongkong bisa bangun rumah magrong-magrong kayak si Joko itu” ucap mertua Kardi pada Ratinah.

Ratinah menyuguhkan secangkir wedang kopi pada ibunya sembari menjawab,“Mauku juga seperti itu, Mbok. Beberapa hari yang lalu juga sudah aku tawarkan itu, tapi mas Kardi memang keras kepala, tak mau bergeming dari pekerjaannya sekarang. Malah aku dibuat gelagapan dengan nasehat-nasehatnya.” 

Senyap sejenak membalut keduanya dalam pikiranya masing-masing. Hingga tergeragap keduanya saat Kardi mengucap salam.

“O ada ibu to. Sudah lama, bu?” sapa mas guru Kardi pada mertuanya dengan penuh hormat yang tak dibuat-buat. Mbok Sri tak segera menjawab, malah lebih memilih menyeruput wedang kopinya.

Yo wis, aku pamit pulang dulu,” pamit mbok Sri kemudian. Ratinah dan Kardi menghantarkannya sampai depan rumah.

“Sampai kapan hidup seperti ini,” gumam Ratinah. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Ratinah kemudian masuk ke dalam kamar. Sementara Kardi sudah di depan komputer kunonya, siap menuangkan isi pikirannya dalam tulisan.

                                                        ***

Sore itu, ada seulas senyum dari bibir Ratinah  yang sudah lama tak pernah dilihat Kardi semenjak awal pernikahannya dulu.

“Mas, aku mau belikan kalung yo. Nanti sewaktu-waktu kalau butuh uang, bisa dijual lagi,” rajuk Ratinah sembari mengitung-hitung lembaran uang seratus ribuan, hadiah lomba penulisan. Istilahnya uang pembinaan.

“Terserahlah, kamu atur saja. aku hanya meminta agar kita tetap menjaga kesabaran dan keyakinan pada Allah terhadap segala urusan, termasuk dalam masalah rezeki,” ucap bijak mas Guru Kardi. 

Ratinah menganggguk-angguk sembari tak berkesudahan menimang-nimang lembaran uang di tangannya.  

Seminggu berlalu dengan sikap  manis Ratinah. Dan yang lebih membahagiakan lagi, di tiap pembicaraanya  jauh dari umpatan dan keluhannya.

“Mas, berhentilah menimang piala itu. Toh kemenangan itu tak bisa memberikan jaminan untuk memenuhi kebutuhan kita. Dika belum bayar SPP, paling lambat pembayaran besuk. Aku juga sudah tidak pegang uang sama sekali,” keluh Ratinah suatu pagi di hari berikutnya.

Tak ada kata yang keluar dari bibir Kardi. Pandangannya tertuju pada piala dan piagam yang digantung di dinding,  disamping piala. Tatapannya semakin redup dan kemudian terpejam. 

“ Andai saja piala itu sangup mendengar suara hatiku, mungkin saja dia mau menjual dirinya, demi memenuhi kebutuhan tuannya. Tapi aku tak akan pernah berprinsip seperti itu, kemuliaan ada pada diri yang tak mudah menjual diri dan menggadaikan keikhlasan hati demi materi yang yang tak selalu memberikan kebahagiaan yang abadi,” gumamnya di kedalaman batin yang kian terluka. ***    

*)MF.Oktavia,    pegiat sastra anak dan Pengelola Lembaga Pendidikan Anak  di Yogyakarta. Alamat : Jln Godean 330 Guyangan Nogotirto Sleman Yogya.

admin

Writer & Blogger

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Program Unggulan

jenis layanan

jadwal kegiatan

Isi Saran dan Masukan Anda disini